Pages

Cari Blog Ini

Ads 468x60px

Labels

Sample text

selembut angin menyapa dedaunan, seindah pelangi menghias angkasa, mari berbagi dengan hati

Sabtu, 23 Juni 2012

the great women


Perempuan karier dalam perspektif islam

                Kalau menjadi kepala negara saja telah dibolehkan, maka dalam bidang-bidang yang lebih ringan tentu tidak ada masalah, misalnya kerja di luar rumah bagi perempuan karier. Di sini kita perlu kembali kepada prinsip pertama yang dijelaskan Al-qur’an bahwa dalam islam tidak ada perbedaan hak mendapatkan pekerjaan bagi laki-laki dan perempuan, tanpa terikat satu tempat (di dalam atau di luar rumah). Hanya saja dalam prosesnya tentu ada ketentuan penyesuaian dengan status dan kemamuannya. Al-qur’an mengisahkan tentang dua anak gadis Nabi Suaib yang bekerja di luar rumah sebagai gembala ternak milik ayahnya. Di sini al-qur’an memberikan contoh hak perempuan untuk bekerja di luar rumah, sesuai dengan status dan kondisi  yang ada.  
            Dalam kondisi yang mengancam seperti itu, anak (laki-laki maupun perempuan) berkewajiban membantu ayahnya yang sudah tidak mampu bekerja. Jadi ada kondisi tertentu yang menyebabkan dia harus bekerja di luar rumah, misalnya karena membantu orangtua. Dan seandainya dia hanya punya anak perempuan, maka anak perempuan tadi yang wajib bekerja untuk menghidupi orangtuanya. Hukum ini tidak pernah berubah sejak zaman Nabi Musa sampai sekarang. Telah menjadi tanggung jawab perempuan bekerja di luar rumah ketika keadaan menuntut.
            Mari kita coba membandingkan kondisi perempuan bekerja di luar rumah antara islam dengan di barat. Pada umumnya masyarakat di barat memperkerjakan perempuan di luar rumah tangga, bukan berangkat dari prinsip-prinsip ajaran agama kristen, Yahudi dan lain-lain, tapi semata karena terpaksa, sebab hukum barat yang telah berlaku mantab, bahkan telah menjadi budaya itu menetapkan batas hubungan antara orangtua dengan anak hanya sampai masa dewasa. Begitu anak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, maka dia harus meninggalkan rumah orangtuanya (mandiri). Akibatnya mereka terpaksa bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri.
            Sedangkan di masyarakat islam tidak begitu. Islam menetapkan sejak lahir sampai umur tertentu anak (termasuk perempuan) akan berstatus sebagai anak. Apabila sebelum dewasa dia telah kehilangan ayah dan ibunya, maka merea akan segera berstatus sebagai saudara perempuan dari seorang laki-laki. Dengan demikian tetap ada penjaminya, karen ayah dengan saudara laki-laki itu sebagai walinya berkewajiban  menjamin kehidupan perempuan itu tanpa batasan umur, selama dia belum bersuami. Apabila prinsip islam tadi dilaksanakan, maka tidak akan ada perempuan yang terlantar.
            Di sini kita mendapatkan penegasan bahwa perempuan dibenarkan dalam islam untuk bekerja di luar rumah, asal jelas motivasinya. Kalau kita hendak bicara masalah perempuan karier, maka kita bertitik tolak dari prinsip-prinsip tadi. Perempuan boleh meniti karier, baik di bidang kepemimpinan politik, dunia bisnis dan sebagainya, sesuai dengan prinsip tadi dan tentu saja perlu memperhatikan kondisi yang ada. (K.H. Ali Yafie).    
           


Selasa, 19 Juni 2012

akhlaq


HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU TASAWUF

Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat pada kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong –menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketauhi bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yangsemuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencega orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishab bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.

Tuhanpun Tertawa, Muhammad Menangis dan MUI Marah-Marah


Tuhanpun Tertawa, Muhammad Menangis dan MUI Marah-Marah

Belum lama ini, terjadi peristiwa yang mengejutkan bagi pihak Majlis Ulama Indonesia (MUI), bahkan acapkali kebakaran jenggot. Pasalnya, beberapa pekan kebelakang ada beberapa kumpulan pengajian mengajarkaan hal-hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hingga disinyalir aliran tersebut dapat membuat resah dan geram masyarakat alias menyesatkan. Kemudian, yang pada akhirnya berujung pangkal pada penisbian, bahkan sekaligus menafikan adanya Tuhan.
Sebut saja, yang terjadi di Malang, yakni Ponpes Ma’dinul Asro, yang dipimpin oleh H Yusman Roy; di Bekasi, tepatnya di daerah Bantar Gebang, yang terdapat Mazlis Dzikir Ponpes al-Musyarofah yang dikepalai oleh Syaikh Maulana. Lembaga ini dinilai mengajarkaan ajaran sesat, sebab salah satu ajarannya adalah menghalalkan perbuatan zinah. Apalagi perlakuan bejad ini dilakukan secara langsung oleh kepala Ponpes tersebut kepada jemaahnya; di Probolinggo pun terjadi hal yang serupa.
Namun, berbeda caranya. Yakni dengan mengeluarkaan buku habis gelap terbitlah terang. Konon, isi buku tersebut mengajarkan kepada kita untuk berbuat zina dengan siapa pun termasuk dengan ketua ponpesnya. Atau yang unik lagi, ketika menjamurnya sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di daerah Indaramayu terdapat satu calon Bupati dan Wakil Bupati itu melakukan kampanye dengan membubuhkan potonya di sampul al-Qur’an. Tentunya naif sekali.
MUI di Menara Gading
Dengan maraknya aliran-aliran bak jamur di musim hujan tiba, yang dapat menyesaatkan akidah umat Islam. Maka MUI sebagai lembaga yang menaungi segala problematika keumatan untuk menggapi permasalah tersebut. Tentunya harus cepat tanggap dan memberikan penjelasan terkait dengan persolan tersebut. Namun, bukan berarti MUI tidak hanya berkutat dan dapat mengeluarkan fatwa-fatwa semata, tanpa harus berujung pangkal pada pemberian penjelasan kepada halayak banyak. Apalagi perkumpulan ulama nan kompleks lagi ragam ini, beralih propesi dari juru bicara Tuhan dalam memberikan m’alulat tentang aspek Mu’alammah dan Tauhidullah menjadi polisi agama.
Waspadailah polisi agama
Dengan demikian, maka sangatlah wajar apabila ada sekelompok tertentu yang beranggapan bahwa MUI bukan lagi kumpulan para ulama tapi polisinya agama. Karena lembaga tersebut hanya pandai mengeluarkan pendapat dan fatwa saja–yang mesti diamini oleh seluruh umat islam. Ketika tidak sepadan dengan pemahmannya dinilai tidak sepaham, bahkan terkadang dicap kapir dan halal darahnya. Hal ini terlihat dari isi gugatan pengacara H Yusman Roy kepada MUI. Seperti yang tedapat dalam HU Pikiran Rakyat (31/5);
Tim pengacara pemimpin pengajian lelaku Pondok Itikaf Sumberwaras Lawang Jatim, menolak berdamai dengan MUI Kab Malang. dan tetap melanjutkan gugatan perdatanya di Peradilan Negeri.
“Kami tidak akan menyatakaan damai dan mencabut gugatan terhadap MUI Malang. Jika pihak MUI sendiri juga mencabut fatwanya, yang menyatakan bahwa ajaran H Yusman Roy, M Amin dalam persidangan perdana gugatan perdata di PN Kapenje, senin (30/5) Selain itu, katanya desakan agar MUI untuk meminta maaf secar terbuka kepada H Yusman Roy dan para santrinya melalui media masa selam minimal 4 bulan itu juga harus dipenuhi, ungkaap pengacara H Yusman Roy dengan tegas.
Sementara Majlis Hakim PN Kapenje, Soedarmadji S.H dan didampingi Taufan Mahdala itu menyarankan agar kedua belah pihak segera berdamai secara kekeluargaan.
Seperti yang diketahui secara bersama belum lama ini, MUI mengeluarkan fatwanya tentang bahaya ajaran ngaji lelaku di mana shalat menggunakan dua bahasa, yang diajarkaan oleh Yusman Roy tersebut sesat dan menyimpang dari ajaran al-Qur’an, sehingga kegiatan dipondok itu diberhentikan.
Tak hanya itu, MUI cabang Tulungagung Jatim pun ikut nimbrung berkenan dengan aliran tersebut. Yang secara resmi mengeluarkan fatwa sesat bagi ponpes Ma’dinul Asror yang dirusak oleh masa beberaapa waktu lalu. Wakil K H Mungin Arif kepada antara Tulungaagung, minggu (29/5) menyebutkan paling tidak terdapat tiga penyebab sesat tersebut.
Pertama, Ponpes telah mengajarkan paham semua yang ada dimuka bumi ini milik Allah, sehingga siapa saja boleh mengambilnya.
Kedua, Pada tataran tertentu umat Islam tidak wajib menjalankan ibadah shalat lima waktu.
Ketiga, Akad perkawinan didasarkan pada suka sama suka tanpa harus melalui restu wali dan dihadapan 2 orang saksi. Tegasnya.
Menilik persolan-persolan di atas, yang membuat kita mengerutkan kepala. Jika kita ditanya tentang asal muasal lahirnya pemahaman tersebut. Tentunya akan sama jawabannya, yakni bersumber pada kitabullah dan sunnatrasul. Namun, dalam mengejawatahkan teks tersebut dalam tatanan kehidupan nyata akan mendapat halangan dan rintangan. Sebab berbeda kondisi ruang, waktu dan zamannya. Apalagi kita tidak memiliki “mentalitas keragaman”(pluralitas). Sebab faktor inilah yang acap kali menjadi biang kerok dalam menaggapi permaslahan-permasalahan tersebut. Walaupun, kemudian pada akhirnya akan tertumpu dan tergantung pada teks itu sendiri dan si pembaca. Karena kehadiraan teks matinya sang pengarang—meminjam istilah K Bartez.
Sementara menurut Azu Mardy Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Memberikan komentar tentang maraknya aliran-aliran tersebut. Di salah satu stasiun TV swasta (27/5). Ia berujar bahwa menjamurnya pemahaman itu, di karenakan krisis identitas yang terjadi di masyaralat dalam perubahan tatanan sosial. Sehingga mencari format-format baru guna diakui keberadaannya, katanya.
Selain itu, masih menurut Azra—panggilan akrabnya. Ia memberikan tanggapan terhadap persoalan itu, tentunya ada motif lain terkait dengan menjamurnya kelompok keagamaan yang dianggaap sesat oleh sebagian golongan termasuk MUI. Yakni oleh orang yang mempunyai kepentingan tertentu, ujarnya.
Senada dengan pendapat di atas, A. Gunaryo, dosen pasca sarjaana IAIN Walisongo pun ikut berkomentar bahwa pemikiran pluralisme perkembangaannya ditentukan oleh dinamika dan kebijakan pandang masyarakat. Bukan campur tangan dan kendali pemerintah yang berkuasa, ungkapnya.
Ia berpendapat, jika campur tangan sampai terjadi inilah yang dikatakan sebagai persoalan. Menurutnya terkadaang dalam pluralitas muncul berbagai sikap dan sifat atau perilaku yang tidak plural, tegasnya.
Keragaman Sebagai Kehendah
Terlepas dari setuju atau pun tidak, dengan pemahman tersebut. Yang jelas Pluralisme agama yang hidup dan ada di Indonesia, termasuk di dalamnya keanekaragaman pemahaman atau aliran keagamaan yang ada didalam tubuh interen umat beragama adalah kenyataan historis yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.
Dengan kata lain, pluralisme menegaskan bahwa kemajemukan, keragaman dan perbedaan merupakan satu kenyatan kemanusiaan. Atau satu-satunya fitrah kemanusiaan, tidak ada satu fakta kemanusiaan kecuali heteroginitas.
Dengan begitu, fenomena di atas kerapkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu sebuah realitas yang mengandung dua sisi yang berbeda, bagaikan mata uang.
Pertama adalah sisi manusia serius dengan aktivitasnya, sehingga orang yang berada di sekiatarnya tak dihiraukan.
Kedua, adalah manusia yang “terlalu peduli”, sehinggan ingin tahu urusan orang lain. Dua sisi itu berakhir dengan “kebinasaan” dan “peniadan”, salah satu pihak karena tidak adanya “kesaling-mengertian” dan “kesaling-pemahaman” tentang karakter lain. Dari hal-hal yang kecil berubah menjadi yang besar. Bukankah kita menemukan pada diri kita sendiri yang tidak merasa senang dengan mereka yang berbeda? bukankah kita sering menggagap sesat kepada mereka yang berbeda paham dengan kita?.
Padahal Rasulullah sangat mengecam perbuatan itu, dengan mengeluarkan sabdanya” mencaci maki orang muslim itu kufur, sedangkan membunuhnya juga kafir” (H R Bukhari-Muslim).
Kalau begitu, apalah artinya petuah Rasulullah mengenai perbedaan sebagai Rahmat. Jelas hal ini belum membuahkan hasil yang memuaskan hati kita. Sebab kita masih berkeyakinan bahwa dengan keseragaman (monolitik) kita bisa mengentaskan segala permasalahan yang kita hadapi dengan dalih mudah dikendalikan dan teratur.
Maka di sini kita patut bertanya, konsep ataukah manusianya yang melenceng? Saya kira jawabanya ada pada yang terakhir. Jika ini benar, maka yang rusak adalah sistem pengetahuan dan konstruk-budaya yang melekat pada diri kita. Yakni cara pandang dan paradigma yang kita miliki perlu ditinjau ulang lagi. Jika perlu didekontruksi sekaligus direkontruksi menuju kepada Rahmat tadi. Dan kita sebagai manusia harus berani mengakui, baik secara nalar (episteme)—yang melahirkan beragam tafsir, maupun sikap dan jalah hidup (way of the lyfe) itu berbeda-beda.
Oleh karena itu, kita harus berani bersikap bijak (wisdem) terhadap berbagai perbedaan di antara kita. Karena dengan itu, akan melahirkan masyarakat yang penuh Rahmat—kasih sayang dan perdamaian yaitu masyarakat madani (Sivil society). Sebagaimana Tuhan berfirman, …dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah menciptakan bumi dan langit serta berlain-lain bahasamu, dan warna kulitmua (QS Ar-Rum : 22); dan pada ayat lain, ….kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal dan menghormati satu sama lain (QS Al-Hujurat : 13); surat an-Naba 24-26; Katakanlah hai Muhammmad siapa yang membri rizki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah Allah dan sesungguhnya kami atau kamu (non muslim) pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata, katakanlah kami (non muslim) tidak akan bertanggungjawab tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian dia memberikan keputusan antara kita dengan benar dan dialah maha pemberi keputusan lagi maha mengetahui.
Bahkan nabi Muhammad sendiri pernah di tegur secara langsung oleh Tuhan melalui firmannya, ketika ia berkeinginan kelak, nanti umatnya itu menjadi satu golonganya. Artinya tidak ber-firkah-firhak hingga 73 golongan. Maka dengan jelas Tuhan berkata, seperti yang termaktub dalam kitabnya,; kalaulah Tuhan menghendaki, tentunya akan beriman semua orang yang ada dalam bumi secara keseluruhan, maka apakah engkau Muhammad akan memaksa manusia, sehingga mereka beriman semua (QS Yunnus: 99); atau dalam ungkapan lain sebermula sekalian umat manusia merupakan satu kaum dari Adam; kemudian mereka bercerai berai, jika tidak ada pernyatan Tuhanmu sebelumnya, niscaya di putuskan masalah-masalah mereka yang di perselisihkan. Tetapi manusia tidak berselisih pendapat mengenai kebenaran itu kecuali mereka yang telah menerima tanda-tanda yang jelas; dalam hal ini mereka melakukan dalam semata-mata.(QS Al-Baqarah : 213).
Sedangkan dalam tradisi yang lain seperti Kristen, kita kenal ungkapan Konsili Vatikan II; …. yang mengakui keselamatan juga terdapat dalam ajaran agama lain selain di lingkungan Katolik Roma.
Dari Monolitik Ke Pluralistik
Namun, lagi-lagi dalam kehidupan acapkali kita menemukan bahwa kearifan yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyyah dan Insaniyyah merupakan “kata-kata” yang lebih mudah di bicarakan dan sulit dijalankan. Sebab ia, adalah yang berdasarkan pada sikap bijak untuk menyikapi yang berbeda secara pemahaman dan cara pandang yang biasa kita anut—karena dalam masyarakat, individu satu dengan yang lainnya punya karakter, watak, sifat dan bentuk-bentuk budaya tertentu.
Berkenaan dengan hal ini, Henry Bergeson (Filusuf dari Prancis) membagi dua bentuk masyarakat. Pertama, masyarakat tertutup (fermes). Inilah masyarakat individu-individunya membentengi (ekslusif) dan membatasi dirinya dalam dinding-dinding asas, kepercayaan dan lembaga-lembaga yang diciptakannya.Pada masyarakat ini, manusia terkungkung sekaligus statis; dan pada gilirannya tidak berkembang di karenakan kemandegannya.
Kedua, masyarakat terbuka (ouverte). Adapun masyarakat ini adalah kebalikan dari masyarakat yang tertutup. Yakni masyarakat yang tidak memiliki dinding-dinding yang membatasi sekaligus berani membuka diri dengan peradaban yang ada di masyarakat. Pada masyarakat ini, keterbukan (inklusif), toleran dan sikaf kasih sayang antara sesama serta bijak dalam memahami orang lain merupakan kunci utamanya. Sebab mereka berada dalam landasan kesepakatan kontrak sosial yang mengacu pada nilai-nilai Insaniyyah dan norma kedamaian dan kesejahteraan bersama.
Inilah yang pada masa Rasululah di sebut ummah. Dan berbentuk masayarakat Madinah Al-Wunamwwarah. Tentu pada masa itu, muncul nabi Muhammad SAW menjadi figur yang menyatukan perbedaan berbagai perbedaan yang ada di masyarakat Arab. Saat itu Rasalullah lewat Piagam Madinah yang di sepakati oleh berbagai suku dan agama, berhasil mewujudkan masyarakat yang betul-betul ideal di dunia ini.
Sebagai mana yang kita ketahui, ternyata dalam hadits-hadits, Rasulullah mewujudkan masyarakat itu berdasarkan pada nilai-nilai insaniyyah dan ilahiyyah. Kita tahu di dalamnya ada larangan dan aturan tertentu, sehingga hal-hal yang bersifat kesejahteraan dan kemanusian dalam masyarakat diprioritaskan.
Di sinilah sikap Pluralisme yang berdasarkan ukhuwwah Insaniyyah wa Ilahiyyah menjadi penting untuk di wujudkan dalam kehidupan kita. Apalagi masyarakat kita yang Multi-Budaya, Etis dan agama, tentu harus di realisasikan. Karena dengan itu, kita sebagai manusia tidak akan lagi tersesak dengan garis pemisah antara kita dengan “manusia” dan yang-lain sebagai bukan manusia—karena manusia sesunguhnya adalah “satu-makhluk” yang beranekaragam.
Akhir kata, dengan hadir dan maraknya aliran-aliran “baru”, bahkan dianggap “ganjil” oleh sebagian golongan termasuk MUI. Terutama di Malang, Probolinggo, Bekasi dan Indramayu, dll. Mudah-mudahan dapat memberikaan pemahaman yang baru dalam khazanah keilmuan Islam, yang pada akhirnya dapat membawa kita kepada derajat ketakwaan yang tebih tinggi. Itu pun akan terjadi mana kala kita mampu memahami dan mengakui perbedaan di antara kita. Baik dari segi agama, sekte/madzhab, Ormas, ras maupun etnis ini. Sehingga terbangunlah sisi persatuan dan kesatuan (kemanusiaan) yang tahun kemarin sempat awut-awutan, robek, hancur, bahkan sekaligus terkoyak.
Tak hanya itu, dengan memahami dan ikut andil dalam mewujudkaan pemahman pluralisme ini merupakan satu langkah awal menuju pintu kebajikan dan pembebasan dalam memahari keragaman yang ada pada manusia.
Akan tetapi, pluralisme dalam kontek ke kinian pluralisme tidak hanya kesadaran atau pemahaman adanya heterogentas, tapi harus juga terlibat secara pro aktif dalam mengejawatahkan nilai-nilainya.
Keharusan pro aktif inilah yang tidak disentuh, selama ini. Apalagi digumulai oleh orang-orang yang selama ini mengaku memehami pluralisme.
Jadi, bukan hanya mengakui tapi membiarkan orang lain yang bebeda dengan kita untuk berkretifitas dengan bebas.
Dengan demikian, pluralisme dalam pandangan Dr Alwi Shihab melalui buku Islam Inklusif (2001:41-42) harus dibedakan dari;
Petama, pluralisme tidak semata menunjuan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah bahwa tiap pemluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam kebinekaan.
Kedua, plualisme harus dibedakan dengan kosmpolitanisme. Kosmopolitanisme menunjukan kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adlah cosmopolitan. Di kota ini terdapat agama Yahudi, Kristen, muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama selakipun.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan elativisme. Seorang relativis akan berasumsi hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat.
Keempat, pluralisme agama bukanlah singkretis, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsure-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Hal yang tak kalah menarik pun di lontarkan oleh Nur Khalik Ridwan dalam buku Pluralime Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur) (2002:77) tentang Pluralisme.
Adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas, dan kemajemukan itu sendiri.
Oleh kerena itu, ketika disebut pluralisme, maka penegasannya adalah diajukannya wacana, kelopmpok, individu, komunitas, sekte, dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima.
Di sinilah saya hanya dapat berharap, semoga usaha kita dalam menepis keragaman ini tidak di tertawakan oleh Tuhan sendiri. Apalagi dengan membuat Muhammad menangis. Meskipun membuat geram, bahkan marah MUI. Ya…salah siapa beralih profesi menjadi polisi agama. Dengan demikian, waspadailah polisi agama itu.

tuhanpun merasa heran


Oleh: KH Hasyim Muzadi
Content from: ICMI

Tuhan yang kita "kenal", amatlah tidak memadai untuk menandai isyarat-isyarat keberadaan-Nya. Kepada kita cuma dijejali gambar-gambar tidak utuh soal Dia Yang Maha Apa Saja ini. Tentu karena keterbatasan materi yang mampu diserap oleh akal kita, maka yang sosok Tuhan hanya muncul dalam sketsa yang buram. Maka lahirlah figur-Nya yang keras, pengecam, pengancam, pemberi azab, penyiksa di alam kubur, penghancur kenikmatan dan segala macam sifat yang menyeramkan.

Di usianya yang amat dini, karena ingin dikategorikan sebagai orang tua yang bertanggung jawab dengan niat menanamkan nilai-nilai agama, di memori anak kita, kita tanamkan kuat-kuat tentang Tuhan yang kedatangannya, sungguh mendebarkan, menyebutkan nama-Nya saja mengguncangkan jiwa, dan membayangkan-Nya membuat bulu kuduk merinding dan bahkan menakutkan. "Jangan bohong, nanti masuki neraka!" "Kalau nakal, nanti dosa lho!" "Kalau tidak nurut orang tua, bisa celaka dan dibenci Allah!" Demikian antara lain, secara samar tetapi pasti setiap saat anak kita bergaul dengan Tuhan yang sama sekali tidak ramah dan jauh dari bersahabat.

Padahal, Tuhan adalah sosok yang sangat berperasaan, sangat penyantun, Maha Bertobat (At-Tawwab), Maha Bersyukur (As-Syakuur), Maha Damai [(As-Salaam), Maha Lembut (Al-Latiif), Maha Penyabar (As-Shobuur) dan sifat-sifat lainnya yang sungguh menyejukkan hati. Semua sifat ini, setiap saat, dengan standar dan jamaliyahnya yang tentu saja berbeda karena Dia bersifat Mukhoolafatuhu Lil Hawaadits dapat dilihat pada diri kita sebagai manusia. Apakah dengan demikian kita lantas heran, kenapa Tuhan bisa bersifat seperti itu? Kalau iya, maka kita perlu untuk kesekian kalinya mengeja ulang satu persatu Al-Asmaa-ul Husna; 99 nama-nama Tuhan Yang Agung. Dari deretan nama-nama itu tentu dengan mudah kita dapat menemukan dokumen seputar Tuhan yang sungguh indah, sejuk dan menyegarkan.

Dalam beberapa firman-Nya, Dia malah mengenalkan dirinya sebagai sosok yang pemalu, suka bersedih, dan gemar berasykik masyuk dengan sagenap kekasih-Nya, para auliyaa, shalihin dan syuhada. Dalam firman-Nya yang lain, misalnya, Tuhan setiap memasuki tengah malam, Tuhan turun ke langit dunia duduk di singgasana-Nya, bersabar menunggu para kekasihnya terbangun untuk bercengkerama dalam shalat, dzikir serta lantunan Kitab Suci. Anehnya, begitu Tuhan menunggu di seberang jalan, kita sebagai hamba, justru tertidur seperti bangkai seakan Tuhan tidak pernah ada, Dia kita tentang seakan Dia tertidur dan kita campakkan firman-Nya seakan Dia tengah beristirahat. Sungguh!

Mari kita simak secara seksama firman Allah di bawah ini, masih seputar rasa perasaan-Nya, begitu menyaksikan tingkah laku manusia. "Ajibtu Li Man Ayqona Mil Maut Kayfa Yafroh" (Aku sungguh heran, kenapa manusia yang yakin dengan akan datangnya kematian, hidupnya selalu dipenuhi dengan canda dan tawa). Kemarin merupakan sebuah tahapan menuju gerbang akhirat. Percaya kepada Hari Akhir merupakan salah satu sendi keimanan kita. Kamatian, dengan amat mudah kita jadikan ukuran soal sudah seberapa benarkah bangunan keimanan kita. Rangkaian kematian terjadi setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari. Dalam setahun, tak terhitung sudah berapa nama masuk daftar "korban" pencabutan nyawa oleh Malaikat Izroil. Kita selalu yakin maut berkepak setiap saat di ujung rambut kita, tetapi jarang sekali kita mengurangi canda dan tawa, seakan maut sudah menyudahi tugasnya.

"Ajibtu Li Man Ayqona Bil Hisaab Kayfa Yajma'ul Maal" (Aku juga sungguh heran, kenapa mereka tiada henti menumpuk harta, padahal hisab akan memberatkan mereka). Karena kita terbiasa memohon karunia, memelas agar diberi kenikmatan hidup, berharap memperoleh kekayaan yang berlimpah, maka seringkali kita lupa bahwa semuanya ini akan berakhir dan tak akan pernah kita bawa ke dalam liang kubur. Anak-anak yang kita banggakan, paling jauh hanya akan mengantar ke sisi lubang kubur dan harta yang dengan berbagai macam cara kitab kumpulkan, hanya menyisakan tak lebih dari selembar kain kafan. Mereka tidak akan menemani kita di himpitan tanah yang sempit, sunyi, sepi, dan terasing. Kita hanya akan ditemani oleh amal-amal saleh kita. Kini, mari berhitung, sudah seberapa besarkah amal saleh kita ?

"Ajibtu Li Man Ayqona Bil Aakhirah Kayfa Yastariih" (Aku sungguh heran, mereka yang yakin akan datangnya Hari Akhir tetapi masih saja bersantai-santai). Sampai kapan kita akan berhenti berhayal soal kenikmatan hidup, kebanggaan diri, tingginya derajat dan kemuliaan di mata manusia? Semua ini tidak akan pernah terhenti kalau keyakinan akan segera tibanya Hari Kiamat tidak mampir dalam benar kita. Seakan kita berkuasa mengatur, kita baru akan berhenti bersantai-santai ketika umur sudah di ujung dan usia sudah menjelang senja. Tanda-tanda dari Tuhan seperti kian memutihnya rambut kita, tak juga mampu memalingkan kita bahwa dalam waktu tak lama lagi kita akan mudik ke kampung halaman yang abadi. Kita berjuang keras, menyikut kawan seiring, memeras hanya untuk sebuah bekal ke kampung yang cuma beberapa hari saja tetapi kita justru lupa mengumpulkan bekal untuk sebuah perjalanan panjang ke negeri akhirat.

"Wa 'ajibatu Li Man Ayqona Bid Dun-ya Wa Zawaalihaa Kayfa Yathmainnu Ilayhaa" (Dan Aku sungguh heran kenapa mereka yang yakin dengan dunia serta kehancurannya tetapi masih menggandrunginya). Betapa banyak di antara kita yang merasa sungguh aman, ketika pangkat berbintang-bintang dan jabatan di eselon paling tinggi. Seakan bintang dan eselon membuat kita akan bertahan selamanya. Harta kekayaan yang kita tumpuk, menjelma sebuah kekuatan dahsyat, seakan mampu menyelamatkan kita dari sergapan maut dan ajal. Kecantikan dan kemolekan tubuh, seakan bisa membuat para pencabut nyawa bertekuk letut karena terpesona. Keindahan paras wajah tak mungkin membuat malaikat berselendang api ini, luluh karena dirasuki birahi. Tak peduli kaya raya, pangkat tinggi, puncak eselon, tubuh yang molek, air muka yang menghanyutkan, desah yang menggairahkan, akan mampu mempertahankan kita begitu maut menjelang. Sungguh!

Rangkaian firman ini, merupakan bentuk nyata dari betapa dekat-Nya Tuhan dengan kita sebagai manusia. Sifat-sifat yang Dia ciptakan untuk kita, merupakan "tetesan" dari sifat-sifat-Nya Yang Agung. Kalau mampu meniru sifat-sifat-Nya yang "Kamal dan Jamal", maka kita dijanjikan Allah akan menduduki sebuah derajat di atas derajat termulia para al-Malaaikah al-Muqarrobin. Tetapi kalau tidak tak mampu juga menyerap sifat "Kamal dan Jamal" Allah, maka kita akan terpental jauh ke jurang kenistaan, ke lembah kesesatan tiada ujung, hingga hingga kita dijamin oleh Allah untuk bisa lebih hina dari binatang bahkan dari setan sekalipun. Kenapa Tuhan terheran-heran? Itu semua tak lebih karena Allah jelas-jelas sudah menurunkan petunjuk tetapi kita mengabaikannya. Sampai kapan pun, Tuhan akan tetap terheran-heran. Wallaahu A'lamu Bishshowaab.

pemuda yang bertobat


Di atas sebuah bukit, seorang syaikh melihat pemuda yang kulitnya kekuning-kuningan, matanya sayu dan tubuhnya mengigil. Dia tidak dapat menetap di tempat, seolah-olah berada di atas ujung pedang. Sementara itu, air matanya terus mengalir, menetes.
“Siapa engkau ?” tanya syaikh.
“Aku hamba yang lari dari majikan” jawab si pemuda.
“Kembalilah dan minta maaf kepada majikanmu !” kata syaikh.
“Permohonan maaf itu perlu alasan yang masuk akal. Bagaimana orang yang gegabah dapat mengajukan permohonan maaf ?” kata si pemuda.
“Mintalah saran kepada orang lain agar engkau dapat memohon ampun kepada majikanmu” kata syaikh.
“Semua orang takut kepada majikanku,” jawab si pemuda.
“Siapakah majikanmu itu ?” tanya ulama salaf.
Si pemuda menjawab “Majikanku adalah orang yang mengurusiku sejak kecil. Tetapi ketika telah besar aku selalu melanggar aturannya. Dia memenuhi semua janjinya kepadaku. Seluruh keperluanku dia tanggung. Tetapi, aku justru mengkhianatinya dan berani melawan perintahnya. Padahal, dia mengetahui semua kebusuk­an perilakuku.”
Syaikh itu bertanya “Di mana majikanmu itu?” Si pemuda berkata, “Ke manapun aku pergi, para pem­bantu­nya selalu ada di sana.
Syaikh itu berkata, ”Sayangilah jiwamu. Tampaknya rasa takutmu ini dapat membakarmu.”
Si pemuda menjawab : “Yang terbakar oleh rasa takut kepadanya lebih baik dan utama di hadapannya.”
Syaikh itu berkata “Wahai Pemuda! Sebenarnya masalah yang engkau hadapi lebih mudah daripada apa yang engkau kira”
Si pemuda berkata “Ini adalah fitnah dari orang-orang yang sesat dan menganggur, ya Tuhan! Ampunilah hamba ini. Dimanakah bekas-bekas keikhlasan dan kebeningan itu?”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut pemuda itu berteriak dengan keras. Dia pingsan.
Kemudian, seorang perempuan tua keluar dari sebuah gua di gunung itu. Dia mengenakan baju yang sangat lusuh. Dia berkata : “Siapakah yang membantu tukang menyakiti orang lain dan lingkungan ini?
Syaikh itu berkata “Wahai hamba Allah! Mengapa engkau tidak mendoakannya dengan baik?”
Dia menjawab :”Aku telah melakukannya”.
Syaikh itu berkata : “Tetapi, do’a yang tidak dibarengi keikhlasan adalah kemusyrikan”.
Selanjutnya, syaikh bertanya kepada wanita tua itu.”Siapakah engkau”.
Dia menjawab “Aku ibunya”.
Syaikh itu berkata lagi “Aku dapat membantu untuk menyadarkannya”.
Sang ibu berkata “Menyingkirlah kamu darinya. Biarkan dia meratap secara hina di hadapan Tuhannya. Mudah-mudahan dia mendapatkan rahmat dan kasih sayang dari Allah Yang Maha Penolong.
Syaikh itu kemudian tersadar bahwa orang yang pingsan dihadapannya adalah seorang pemuda yang sedang bertobat kepada Allah. Dia kemudian berkata : “Aku tidak tahu mengapa pemuda itu pingsan, apakah akibat rasa takutnya yang besar kepada Allah atau ketulusan doa ibunya.”
(Demikian diceritakan Imam Ibn Al Qayyim dalam Madarij Al Salikin, juz 2)

Saat gelombang menghadangku.


Saat gelombang menghadangku.


Aku pun meyakini bahwa dunia ini memang samudera luas yang harus aku arungi. Berombak badai menerjang hari, penuh tantangan menyayat hati.  Hari demi hari kudaki dan selalu ku daki setiap tebing curam nafas kehidupan dalam pencarianku, mencari hakikat hidup ini.
Tiga tahun sudah, tak terasa aku berada di kota Reog ini. Tiga tahun sudah, aku berkelana di kota ini. Tiga tahun sudah, siang dan malam aku lalui, tiga tahun sudah berbagai lika-liku aku hadapi seorang diri.
Hembusan udara lembut menyapa, lembutnya kabut pagi masih menyelimuti. Di Pesantren salafi ini, tempat ku bernaung diri. Matahari masih tertidur diantara selimut malam, sedang para santri sudah sibuk dengan ritual setiap fajar.
Suara Toa berkoar-koar, menggema keseluruh pesantren kecil ini. Lantunan shalawat terus mengalir. Percikan air kran yang memancar, ributnya santri yang mulai bertebar dari sangkar menjadi pemandangan sehari-hari.
Dinginnya air  mencubit manja membasahi mukaku. Suasana pagi kembali tertata lagi. Aku dan para santri sekejap kemudian hening tertunduk dibawah yang Maha Kuasa. Ku tundukkan kepalaku bersujud kepada-Nya, atas segala bimbingan-Nya hingga aku bisa bertahan hingga detik ini.
Saat aku curahkan segala keluhanku kepada-Nya, tak terasa derasnya kucuran air mata, mengalir lambat nan hangat membasahi pipi, dimana kesyahduan yang membelai menghadirkan suatu nikmat yang tiada tara. Dalam hati berkata, beruntungnya diri ini berada disini.
Sang surya menggulung tabir langit dunia. Sang surya kembali membakar insan untuk segera bertebar. Sang surya mengawali segala ihtiar.
Memang bukan hal mudah menjalani hidup ini, dan aku tahu itu. Bertahun sudah aku lepas dari tanggung jawab bapak ibuku, sedikit banyak asam garam telah mengendap di jiwaku.  Masalah berat yang saat ini aku hadapi mau tidak mau harus aku pikul dengan pundakku yang rapuh ini. Tentang bagaimana aku meneruskan kuliahku, tentang bagaimana aku terus melanjutkan nyantriku, dengan keadaanku saat ini, hingga bebebapa tahun kedepan, di kota Reog ini.
Tak bisa kutarik masa yang tertinggal dibelakang, karena waktu memang pengelana paling garang yang pantang membalik pandang. Kecuali tapak-tapak kenang yang melayang-layang yang perlahan hilang di timpa petang. Kini aku bimbang, kini aku bagai layang layang yang terombang angin garang.
 Setahun yang lalu adalah masa-masa terindahku. Dimana kemudahan-kemudahan selalu menyertaiku, kemudahan menjalani hidupku, kemudahan dalam penghidupanku. Itu saat bulan-bulan pertama ku menyantri di pesantren Nurul Hikam Keniten ini. Pendapatanku cukup lumayan, karena hasil penjualan dari hasil perniagaanku menjual barang plastic sudah cukup kurasa memenuhi kebutuhanku, juga membiayayai kuliahku. Mencari uang lima puluh ribu bak mencari rumput di tanah lapang. Tinggal sabit, uangpun ku dapat, semua biaya ini dan itu, sikat. Oleh karenannya pula, setiap bulannya, aku bisa transfer uang kepada keluargaku sebulan hingga lima ratus ribu rupiah.
Seiring berjalannya waktu, sebuah gelombang pasang menerpa kapalku yang membuat tergoncang diriku. Bagai rumput yang kering dipanggang mentari, sedang hujan tak kunjung membasahi, aku kekeringan. Pendapatan perhariku menurun. Kebutuhan hariku menanjak.
Hal yang tak terduga, menambah deritaku.  Nikmat terbesar dari Tuhanku berupa mata, sakit tiada terkira. Mahluk-mahluk serupaku yang beberapa meter dihadapanku bak hantu yang tak jelas mata dan hidungnya. Oh, rabunjauhkah aku?

Tak terbayang bingungnya aku saat itu, tanpa penglihatan yang sempurna, aku bak robot berbaterai itu. Ku pinjam lensa milik teman baikku. Begitu hinggap dikedua mataku, mereka yang aku lihat, bagai mendekat beberapa centi kepadaku. Setiap kali aku berjalan, jalanku melayang-layang, setiap langkah berjonggrang-jongrang, membuat gontang tak tenang.
Ku lepas lensa aneh itu, segera mungkin ku konsultasi te teman baikku. Ia menyarankan aku, kesebuah optic di tengah kota itu.
Yang lebih membuat ku tercengang adalah harga lensa itu. Bukan ribuah, puluhan, tapi ratusan ribu. Sedang pada saat itu, disakuku hanya ada uang beberapa ribu saja.
Aku pulang dengan dakwaan rabunjauhku. Pikiranku melayang memikirkan dari mana kudapatkan uang sebanyak itu. Hanya seseorang yang tiba-tiba teringat olehku, dialah orang yang selama ini memberi kepercayaannya kepadaku, bos plastic.
Untuk membeli sebuah lensa kaca mata yang pada saat itu seharga 225 ribu, aku terpaksa pinjam dana kepada bosku. Dengan berbagai argument saya, ia pun sudi memberi pinjaman kepadaku.
Hari-demi hari ku lalui dengan kaca mata dan gelar baruku, propesor plastic. Begitulah ejekan teman yang suka bercanda itu. Aku sedikit malu, namun apa dayaku, inilah ritme hidupku.
Namun bukan sampai disitu saja masalah yang aku hadapi. Tubuhku mulai sakit-sakitan. Sering demam, lemah tak karuan, sehingga stamina untuk kerja sangatlah menurun drastis, dan otomatis pendapatanku tak mungkin ku genjot lagi. Aku sering terbaring sendiri, sedang teman-temanku sibuk tak mau mengerti, hanya sesekali teman baikku duduk disebelahku, hanya sekedar menghiburku.
Aku tetap lanjutkan berangkat kuliahku sore itu, unta tua setia menghantarkanku. Walau sakit, semua kupertaruhkan demi ilmu, ku tak peduli apa yang terjadi padaku.  lelah dan letih menyergapku, aku berhenti didepan sebuah kios kecil, tepatnya di depan toko buku “Terang”.
Aku hanya memandang kederetan barisan buku-buku itu. Tak ada yangbisa ku lakukan kecuali hal tersebut.
Perhatianku tersita oleh sebuah buku yang terpampang di etalase took itu. Dapat aku baca dengan jelas “padang bulan, Andrea Hirata”. Yang lebih membuat aku terkagum adalah tulisan yang berbunyi “mega best seller, terjual 25000 dalam 2 minggu”. Wah, luar biasa, hatiku berkata. Muncul suatu keinginan dalam diriku untuk mendapatkan hal serupa seperti buku dwilodi padang bulan itu.
Namun bagaimana aku bisa yaa? Bagai prajurit kalah sebelum perang, aku sudah layu sebelum berkembang. Ah, mustahil. Perjalanan ke kampus pun aku lanjutkan. Yang ada dalam pikiranku saat ini adalah bagaimana aku melunasi hutangku yang tak Cuma dua ratus ribu itu, dengan keadaanku yang tak memungkinkan itu.
Senja mendekati malam, Ku termenung di Pesantren Al hikam tempat aku menimba ilmu jiwa ini.
Satu pertanyaanku adalah, kemana langkah hendak aku rangkai, tindakan apa yang harus aku lakukan.?
Hutang menghimpitku , mencekikku membuat muka pucat membiru. Kebutuhan sehari-hari terus menuntutku, membakar ketenangan jiwaku. Setiap detik begitu berat, sulit dan memusingkan. Apalagi ketika tagihan bayaran uang syahriah ponpes tiba, wah tak kebayang bagaimana aku menghadapinya. Terpaksa hutang lagi dan lagi kepada siapa yang boleh di hutangi. Semakin terilitlah aku ini.
Bayangan bunda tiba-tiba datang disaat aku duduk termenung. Hanya ucapan lirih yang mampu aku katakan.
 “Bunda  maafkanlah ananda”, kudengar kabar bahwa jauh disana kini bunda terluka Di himpit dunia fana. Aku tak mampu lagi mengirim rupiah untuk membantumu. Buat makan sehari-hari saja, cukup membingunganku. Bunda Ananda percaya dengan Takdir-Nya. Ku yakin bunga kan mekar warnanya walau pelan penuh iba.  Bagai kering ini di musim kemarau, jiwa terasa gundah. Membayang bunda merajut hari hari dengan terluka memakan kaktus keras tua menahan terik mentari gurun sahara.
Bunda, walau hanya fatamorgana yang muncul dimata, dan belum setetes airpun membasahi bibirmu, ku kan terus mencari untukmu air sejuk untuk engkau teguk.
Hanya disini, di Pesantren ini, Hikam tempat kedamaiaanku, di Keniten punya koloni ilmu Tempat menanam benih ilmu jiwaku. Hanya harapan tuk Menggapai Ridha Rabb-ku yang kini menguatkanku untuk bertahan semampuku.
Hari hari kujalani. Tanpa uang tanpa tanpa sesuatu yang bisa aku beli. Rasa lapar berhari-hari, sesekali makan hanya sepotong belimbing atau ketela yang memang tumbuh disekitar pesantren. Enggan bagiku meminta kepada teman teman santri lainnya.
Yang aku bisa lakukan adalah terus menulis dan menulis serpihan hari-hari piluku, berisikan puisi-puisi gubahan jiwaku. Tentang doa harapan dan keyakinan bahwa jalan keluar pasti akan datang.
Buku wahai buku, yang  mampu membuka jendela nalarku, membuka hari menerjang isu cakrawala beratap langit ilmu menuntun jiwa untuk maju.
Rabb, Tiada aku berhenti meniti hari Penuh peluh lusuh dalam patuh Bersabar tegar kekar tak gentar Biar biar biar, Surya membakar nadi bergetar Menjalani waktu berani maju Demi bahagia kujalani derita Penuh liku kian menusuk bagai duri dalam jasadku.
Ya rabbi ya tuhanku Aku memahami aturan muliaMu, aku yakin akan semua ketentuan-Mu Hanya Ridha-Mu menggapai Rahmat-Mu dibalik ujian-ujian berjalan termakna keindahan menawan kesan .Tenangkan jiwaku wahai tuhan, agar sabar tiada gentar.