Pages

Cari Blog Ini

Ads 468x60px

Labels

Sample text

selembut angin menyapa dedaunan, seindah pelangi menghias angkasa, mari berbagi dengan hati

Selasa, 19 Juni 2012

Saat gelombang menghadangku.


Saat gelombang menghadangku.


Aku pun meyakini bahwa dunia ini memang samudera luas yang harus aku arungi. Berombak badai menerjang hari, penuh tantangan menyayat hati.  Hari demi hari kudaki dan selalu ku daki setiap tebing curam nafas kehidupan dalam pencarianku, mencari hakikat hidup ini.
Tiga tahun sudah, tak terasa aku berada di kota Reog ini. Tiga tahun sudah, aku berkelana di kota ini. Tiga tahun sudah, siang dan malam aku lalui, tiga tahun sudah berbagai lika-liku aku hadapi seorang diri.
Hembusan udara lembut menyapa, lembutnya kabut pagi masih menyelimuti. Di Pesantren salafi ini, tempat ku bernaung diri. Matahari masih tertidur diantara selimut malam, sedang para santri sudah sibuk dengan ritual setiap fajar.
Suara Toa berkoar-koar, menggema keseluruh pesantren kecil ini. Lantunan shalawat terus mengalir. Percikan air kran yang memancar, ributnya santri yang mulai bertebar dari sangkar menjadi pemandangan sehari-hari.
Dinginnya air  mencubit manja membasahi mukaku. Suasana pagi kembali tertata lagi. Aku dan para santri sekejap kemudian hening tertunduk dibawah yang Maha Kuasa. Ku tundukkan kepalaku bersujud kepada-Nya, atas segala bimbingan-Nya hingga aku bisa bertahan hingga detik ini.
Saat aku curahkan segala keluhanku kepada-Nya, tak terasa derasnya kucuran air mata, mengalir lambat nan hangat membasahi pipi, dimana kesyahduan yang membelai menghadirkan suatu nikmat yang tiada tara. Dalam hati berkata, beruntungnya diri ini berada disini.
Sang surya menggulung tabir langit dunia. Sang surya kembali membakar insan untuk segera bertebar. Sang surya mengawali segala ihtiar.
Memang bukan hal mudah menjalani hidup ini, dan aku tahu itu. Bertahun sudah aku lepas dari tanggung jawab bapak ibuku, sedikit banyak asam garam telah mengendap di jiwaku.  Masalah berat yang saat ini aku hadapi mau tidak mau harus aku pikul dengan pundakku yang rapuh ini. Tentang bagaimana aku meneruskan kuliahku, tentang bagaimana aku terus melanjutkan nyantriku, dengan keadaanku saat ini, hingga bebebapa tahun kedepan, di kota Reog ini.
Tak bisa kutarik masa yang tertinggal dibelakang, karena waktu memang pengelana paling garang yang pantang membalik pandang. Kecuali tapak-tapak kenang yang melayang-layang yang perlahan hilang di timpa petang. Kini aku bimbang, kini aku bagai layang layang yang terombang angin garang.
 Setahun yang lalu adalah masa-masa terindahku. Dimana kemudahan-kemudahan selalu menyertaiku, kemudahan menjalani hidupku, kemudahan dalam penghidupanku. Itu saat bulan-bulan pertama ku menyantri di pesantren Nurul Hikam Keniten ini. Pendapatanku cukup lumayan, karena hasil penjualan dari hasil perniagaanku menjual barang plastic sudah cukup kurasa memenuhi kebutuhanku, juga membiayayai kuliahku. Mencari uang lima puluh ribu bak mencari rumput di tanah lapang. Tinggal sabit, uangpun ku dapat, semua biaya ini dan itu, sikat. Oleh karenannya pula, setiap bulannya, aku bisa transfer uang kepada keluargaku sebulan hingga lima ratus ribu rupiah.
Seiring berjalannya waktu, sebuah gelombang pasang menerpa kapalku yang membuat tergoncang diriku. Bagai rumput yang kering dipanggang mentari, sedang hujan tak kunjung membasahi, aku kekeringan. Pendapatan perhariku menurun. Kebutuhan hariku menanjak.
Hal yang tak terduga, menambah deritaku.  Nikmat terbesar dari Tuhanku berupa mata, sakit tiada terkira. Mahluk-mahluk serupaku yang beberapa meter dihadapanku bak hantu yang tak jelas mata dan hidungnya. Oh, rabunjauhkah aku?

Tak terbayang bingungnya aku saat itu, tanpa penglihatan yang sempurna, aku bak robot berbaterai itu. Ku pinjam lensa milik teman baikku. Begitu hinggap dikedua mataku, mereka yang aku lihat, bagai mendekat beberapa centi kepadaku. Setiap kali aku berjalan, jalanku melayang-layang, setiap langkah berjonggrang-jongrang, membuat gontang tak tenang.
Ku lepas lensa aneh itu, segera mungkin ku konsultasi te teman baikku. Ia menyarankan aku, kesebuah optic di tengah kota itu.
Yang lebih membuat ku tercengang adalah harga lensa itu. Bukan ribuah, puluhan, tapi ratusan ribu. Sedang pada saat itu, disakuku hanya ada uang beberapa ribu saja.
Aku pulang dengan dakwaan rabunjauhku. Pikiranku melayang memikirkan dari mana kudapatkan uang sebanyak itu. Hanya seseorang yang tiba-tiba teringat olehku, dialah orang yang selama ini memberi kepercayaannya kepadaku, bos plastic.
Untuk membeli sebuah lensa kaca mata yang pada saat itu seharga 225 ribu, aku terpaksa pinjam dana kepada bosku. Dengan berbagai argument saya, ia pun sudi memberi pinjaman kepadaku.
Hari-demi hari ku lalui dengan kaca mata dan gelar baruku, propesor plastic. Begitulah ejekan teman yang suka bercanda itu. Aku sedikit malu, namun apa dayaku, inilah ritme hidupku.
Namun bukan sampai disitu saja masalah yang aku hadapi. Tubuhku mulai sakit-sakitan. Sering demam, lemah tak karuan, sehingga stamina untuk kerja sangatlah menurun drastis, dan otomatis pendapatanku tak mungkin ku genjot lagi. Aku sering terbaring sendiri, sedang teman-temanku sibuk tak mau mengerti, hanya sesekali teman baikku duduk disebelahku, hanya sekedar menghiburku.
Aku tetap lanjutkan berangkat kuliahku sore itu, unta tua setia menghantarkanku. Walau sakit, semua kupertaruhkan demi ilmu, ku tak peduli apa yang terjadi padaku.  lelah dan letih menyergapku, aku berhenti didepan sebuah kios kecil, tepatnya di depan toko buku “Terang”.
Aku hanya memandang kederetan barisan buku-buku itu. Tak ada yangbisa ku lakukan kecuali hal tersebut.
Perhatianku tersita oleh sebuah buku yang terpampang di etalase took itu. Dapat aku baca dengan jelas “padang bulan, Andrea Hirata”. Yang lebih membuat aku terkagum adalah tulisan yang berbunyi “mega best seller, terjual 25000 dalam 2 minggu”. Wah, luar biasa, hatiku berkata. Muncul suatu keinginan dalam diriku untuk mendapatkan hal serupa seperti buku dwilodi padang bulan itu.
Namun bagaimana aku bisa yaa? Bagai prajurit kalah sebelum perang, aku sudah layu sebelum berkembang. Ah, mustahil. Perjalanan ke kampus pun aku lanjutkan. Yang ada dalam pikiranku saat ini adalah bagaimana aku melunasi hutangku yang tak Cuma dua ratus ribu itu, dengan keadaanku yang tak memungkinkan itu.
Senja mendekati malam, Ku termenung di Pesantren Al hikam tempat aku menimba ilmu jiwa ini.
Satu pertanyaanku adalah, kemana langkah hendak aku rangkai, tindakan apa yang harus aku lakukan.?
Hutang menghimpitku , mencekikku membuat muka pucat membiru. Kebutuhan sehari-hari terus menuntutku, membakar ketenangan jiwaku. Setiap detik begitu berat, sulit dan memusingkan. Apalagi ketika tagihan bayaran uang syahriah ponpes tiba, wah tak kebayang bagaimana aku menghadapinya. Terpaksa hutang lagi dan lagi kepada siapa yang boleh di hutangi. Semakin terilitlah aku ini.
Bayangan bunda tiba-tiba datang disaat aku duduk termenung. Hanya ucapan lirih yang mampu aku katakan.
 “Bunda  maafkanlah ananda”, kudengar kabar bahwa jauh disana kini bunda terluka Di himpit dunia fana. Aku tak mampu lagi mengirim rupiah untuk membantumu. Buat makan sehari-hari saja, cukup membingunganku. Bunda Ananda percaya dengan Takdir-Nya. Ku yakin bunga kan mekar warnanya walau pelan penuh iba.  Bagai kering ini di musim kemarau, jiwa terasa gundah. Membayang bunda merajut hari hari dengan terluka memakan kaktus keras tua menahan terik mentari gurun sahara.
Bunda, walau hanya fatamorgana yang muncul dimata, dan belum setetes airpun membasahi bibirmu, ku kan terus mencari untukmu air sejuk untuk engkau teguk.
Hanya disini, di Pesantren ini, Hikam tempat kedamaiaanku, di Keniten punya koloni ilmu Tempat menanam benih ilmu jiwaku. Hanya harapan tuk Menggapai Ridha Rabb-ku yang kini menguatkanku untuk bertahan semampuku.
Hari hari kujalani. Tanpa uang tanpa tanpa sesuatu yang bisa aku beli. Rasa lapar berhari-hari, sesekali makan hanya sepotong belimbing atau ketela yang memang tumbuh disekitar pesantren. Enggan bagiku meminta kepada teman teman santri lainnya.
Yang aku bisa lakukan adalah terus menulis dan menulis serpihan hari-hari piluku, berisikan puisi-puisi gubahan jiwaku. Tentang doa harapan dan keyakinan bahwa jalan keluar pasti akan datang.
Buku wahai buku, yang  mampu membuka jendela nalarku, membuka hari menerjang isu cakrawala beratap langit ilmu menuntun jiwa untuk maju.
Rabb, Tiada aku berhenti meniti hari Penuh peluh lusuh dalam patuh Bersabar tegar kekar tak gentar Biar biar biar, Surya membakar nadi bergetar Menjalani waktu berani maju Demi bahagia kujalani derita Penuh liku kian menusuk bagai duri dalam jasadku.
Ya rabbi ya tuhanku Aku memahami aturan muliaMu, aku yakin akan semua ketentuan-Mu Hanya Ridha-Mu menggapai Rahmat-Mu dibalik ujian-ujian berjalan termakna keindahan menawan kesan .Tenangkan jiwaku wahai tuhan, agar sabar tiada gentar.

0 komentar: