Pages

Cari Blog Ini

Ads 468x60px

Labels

Sample text

selembut angin menyapa dedaunan, seindah pelangi menghias angkasa, mari berbagi dengan hati

Jumat, 16 Desember 2011

talak ,rujuk dan wali

betapa bahagia mereka yang mengerti
akan kemampuan memahami hukum hukum syar'i
menjaga keutuhan rumah tangganya
duhai muslimin wal muslimah
peganglah tali dengan kuat nan gagah
rumah tangga adalah anugrah
yang diberikan allah dengan penuh barokah



cuplikan beberapa masalah yang berkaitan dengan menikah
Di ambil dari web,majalah assunnah
(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII)

PERTANYAAN :
1. Istri yang ditalak satu atau dua dan setelah itu rujuk, bagaimanakah tata cara rujuk yang syar’i?
2. Apabila masa ‘iddah belum habis, apakah harus membuat akad nikah baru?
3. Apabila masa ‘iddah telah habis, bagaimanakah cara rujuk yang sesuai syar’i?

Jazakallahu khairan.
M. Iqbal, Kepri
08526497xxxx
JAWABAN :
Agama Islam sangat menjaga keutuhan biduk rumah tangga kaum muslimin. Hal ini bisa dilihat dalam pengaturan tentang perceraian (talak), bahwasanya Islam tidak menjadikan talak hanya sekali, namun sampai tiga kali.
Disebutkan dalam firman Allâh Ta'ala :
Description: (Qs. al-Baqarah/2:229)
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik.
(Qs. al-Baqarah/2:229)

Juga adanya pensyariatan‘iddah. Yaitu masa menunggu bagi yang ditalak, seperti tersebut dalam firman-Nya:
Description: (Qs. ath-Thalâq/65:1)
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu,
maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar),
dan hitunglah waktu‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka,
dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar,
kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
(Qs. ath-Thalâq/65:1)

Dengan demikian, seorang suami yang menceraikan istrinya satu kali, ia masih memungkinkan untuk memperbaiki kembali bila dirasa hal itu perlu dan baik bagi keduanya. Semua ini menunjukkan perhatian Islam yang sangat besar dalam pembangunan rumah tangga yang kokoh dan awet.
Adapun syarat sahnya rujuk, di antaranya:
1. Rujuk setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari suami atau dari hakim.
2. Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli. Apabila istri yang ditalak tersebut sama sekali belum pernah digauli, maka tidak ada rujuk. Demikian menurut kesepakatan ulama.
3. Rujuk dilakukan selama masa ‘iddah. Apabila telah lewat masa ‘iddah -menurut kesepakatan ulama fikih- tidak ada rujuk.

Dalam rujuk, tidak disyaratkan keridhaan dari wanita. Sedangkan bila masih dalam masa ‘iddah, maka anda lebih berhak untuk diterima rujuknya, walaupun sang wanita tidak menyukainya. Dan bila telah keluar (selesai) dari masa ‘iddah tetapi belum ada kata rujuk, maka sang wanita bebas memilih yang lain. Bila wanita itu kembali menerima mantan suaminya, maka wajib diadakan nikah baru.
Allâh Ta'ala menyatakan dalam firman-Nya, yang artinya:
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allâh dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allâh dan hari akhirat.
Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu
jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf.
Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.
Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(Qs. al-Baqarah/2 ayat 228)

Di dalam Fathul Bâri, Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan:
“Para ulama telah bersepakat, bahwa bila orang yang merdeka menceraikan wanita yang merdeka setelah berhubungan suami istri, baik dengan talak satu atau dua, maka suami tersebut lebih berhak untuk rujuk kepadanya, walaupun sang wanita tidak suka. Apabila tidak rujuk sampai selesai masa iddahnya, maka sang wanita menjadi orang asing (ajnabiyah), sehingga tidak halal baginya, kecuali dengan nikah baru”. [1]
Cara untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk kepada istri yang ditalak, atau dengan perbuatan. Rujuk dengan ucapan ini disahkan secara ijma’ oleh para ulama, dan dilakukan dengan lafazh yang sharih (jelas dan gamblang), misalnya dengan ucapan “saya rujuk kembali kepadamu” atau dengan kinayah (sindiran), seperti ucapan“sekarang, engkau sudah seperti dulu”. Kedua ungkapan ini, bila diniatkan untuk rujuk, maka sah. Sebaliknya, bila tanpa diniatkan untuk rujuk, maka tidak sah.
Sedangkan rujuk dengan perbuatan, para ulama masih bersilang pendapat, namun yang rajih (kuat) -insya Allâh- yaitu dengan melakukan hubungan suami istri atau muqaddimahnya, seperti ciuman dan sejenisnya dengan disertai niat untuk rujuk.
Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah dan dirajihkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh.[2] Apabila disertai dengan saksi, maka itu lebih baik, apalagi jika perceraiannya dilakukan di hadapan orang lain, atau sudah diketahui khalayak ramai.
Wallahu a’lam.
Description: http://majalah-assunnah.com/images/naskah/garis.gif
Tafsîr Ibnu Katsîr (5/342- cet Dâru Thayyibah).
Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).



WALI NIKAH


Anda tidak perlu risau tentang masalah wali nikah ini. Nikah memang tidak sah jika tidak ada wali, tetapi yang boleh menjadi wali itu bukan hanya ayah. Berikut ini saya sebutkan urutan orang-orang yang boleh menjadi wali dalam pernikahan seorang gadis.
  1. Ayah
  2. Kakek (bapaknya bapak)
  3. Saudara laki-laki sekandung
  4. Saudara laki-laki sebapak(lain ibu)
  5. Anak laki-lakinya saudara laki-laki kandung (keponakan)
  6. Anak laki-lakinya saudara laki-laki sebapak
  7. Paman (saudara laki-laki bapak sekandung)
  8. Paman (saudara laki-laki bapak sebapak)
  9. Anak laki-laki dari paman nomor 6 dalam urutan ini
  10. Anak laki-lakidari paman nomor 7 dalam urutan ini
Dari urutan tersebut, yang lebih berhak menjadi wali adalah yang paling atas urutannya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika wali yang berada pada urutan pertama (ayah) masih ada, maka wali pada urutan di bawahnya tak boleh menjadi wali. Tapi jika wali yang pertama tidak ada (karena sudah meninggal atau pergi dan tak diketahui tempatnya, atau berada di tempat yang sangat jauh dan tak mungkin didatangkan karena tidak ada biaya, dll), maka wali yang berada pada urutan berikutnya boleh menggantikannya. Demikian seterusnya.

Selain itu, wali yang berhak juga boleh mewakilkan kewaliannya kepada orang lain.

Jika memang tidak ada satupun wali, maka yang berhak menikahkan adalah penghulu. Sebagaimana sabda Rasulullah, "Sultan adalah wali orang yang tidak mempunyai wali (nikah)." Sultan dalam konteks sekarang adalah pegawai pemerintah (KUA), yaitu penghulu.



0 komentar: